Laman

Tuesday, October 23, 2012

Banjarran Gatotkaca Diboyong ke Paris



Paris 22 Oktober 2012, Standing Ovation menggema di Auditorium 1 Markas Besar Unesco di Paris, tepuk tangan tidak kurang dari 1.200 penonton dari 129 negara seolah tiada hentinya, seperti sebuah keajaiban dari misi yang tadinya seperti mustahil dilakukan. Betapa tidak sebuah lakon " Banjarran Gatotkaca " yang dimainkan oleh Wayang Orang Indonesia Pusaka ini dipertunjukkan dalam konsep minikata, sedangkan pementasan lebih didominasi koreografi dan gestur pemain dan agak mengesampingkan antawacana. Penonton dengan perbedaan bahasa ternyata tidak butuh bahasa verbal untuk memahami keindahan tiap adegan demi adegan "Banjarran Gatotkaca".
Puncak keindahan yang memukau penonton itu terjadi ketika Gatotkaca gugur, setelah panah Adipati Karna menghujam ke tubuh Gatotkaca. Arimbi sang ibunda menagisi putranya dengan sesenggukan, sementara isteri tercinta hanya bisa tertunduk pilu. Bima ayahnda yang perkasapun tiada bisa berkata-kata, wajahnya menerawang jauh ke langit, mempertanyakan kebijakan para Dewa, kenapa harus terjadi kematian diantara keluarga Bharata. Iringan gamelan yang nglangut, membawa suasana yang menghanyutkan penonton.





Sementara adegan lain seperti Gatotkaca ( Nanang Riswandi ) wuyung pada Pergiwa ( Aylawati Sarwono ) menjadi tontonan paling romantis, berkali-kali Pergiwa mengatakan dalam bahasa Prancis " Kangmas Gatotkaca, je t'aime ". Dalam adegan itu Nanang dan Ayla mampu menyentuh hati penonton dengan gerak artistik universal yang mempresentasikan tubuh dan jiwa sedang dilanda asmara, Sang Gatotkacapun dengan akrobat seorang superhero membopong Pergiwa diatas pundaknya. Bahkan untuk menunjukkan betapa cintanya kepada Pergiwa membuat gila Gatotkaca, Nanang memungut setangkai bunga di sudut panggung dan memberikan kepada seorang penonton yang sedang terpana keindahan adegan itu, tepuk tanganpun menggema.

Adegan Gatotkaca pamit mati juga mampu membetot perasaan penonton, saat melantunkan tembang pamit mati itu Nanang menggunakan teknik lamento yang membawa penonton ikut larut meratapkan sebuah tangis kesedihan dalam elegi yang mengharu-biru. Bagi penonton yang paham bahasa Jawa akan merinding mendengar ratapan pedih Gatotkaca tatkala pamit mati " Duh Yayi, Kakangmas pamit pejah " dalam olah wirasa, wiraga dan wirama yang pas dilakukan oleh Nanang.
Arimbi ( Dewi Sulastri ) juga mampu mengimbangi akting Nanang, dengan menampilkan kesedihan atas rasa kehilangan yang tak tergantikan, saat Gatotkaca pamit perang yang diyakini akan mati, tembang menyayat hati dan gestur tubuh yang mencerminkan kepedihan diperagakan Dewi Sulastri dengan baik, betapa tubuh yang fana tak mampu menolak takdir kematian yang kan menjemput dalam Bharatayudha, meskipun dengan kesaktian atau kedigdayaan sekalipun.

Magnet pertunjukan mampu menyedot dengan pengunaan-penggunaan bahasa Prancis dalam berbagai adegan, seperti Ninok Leksono ( pemeran Semar ) yang mahir berbahasa Prancis melucu dengan ungkapan-ungkapan yang dimengerti penonton, misalnya dia menyebut Semar, Gareng, Petruk dan Bagong bisa disebut hebat kalau mampu melompati menara Eifel, atau berlari dari Paris ke Versailes, ternyata membuat penonton terbahak-bahak.
Juga ketika para abdi itu berkali-kali bilang " Merci beaucoup " penontonpun terbahak, karena dikatakan dalam saat yang tidak tepat, bahkan apapun yang dikatakan Semar di amini oleh anak-anaknya dengan kata " Merci ".
Malah Gareng menimpali dengan berkata " Merca-merci melulu, mbok sekali-kali Honda " lagi-lagi plesetan Gareng membuat penonton yang paham terbahak.

Strategi menggunakan Bahasa Prancis secara kreatif ternyata menjadi pesona lain dalam pertunjukan yang mengangkat kisah Gatotkaca saat lahir, jatuh cinta, perang dan mati dalam Bharatayudha. Narasi dalam bahasa Prancis yang dipresentasikan oleh perupa Astari Rasyid di sela-sela pertunjukan juga sangat berperan, meskipun Astari sendiri mengakui beberapa kali terpeleset lidahnya, namun narasi itu mampu menjembatani komunikasi antara publik Prancis dengan dominasi bahasa Jawa yang digunakan para wayang.
Selepas menikmati pertunjukan Prof Pierre Labrousse, penyusun Kamus Umum Indonesia-Prancis berkomentar bahwa pertunjukan Banjarran Gaotkaca ini sebagai tontonan yang telah memodernkan wayang secara bagus " Gabungan antara sinema, wayang kulit dan wayang wong yang dimainkan sungguh memperkaya pertunjukan ini, saya sangat menyukainya " katanya.

Walhasil, pertunjukan yang dimainkan oleh 60 penari dan niyaga dari gabungan Wayang Orang Bharata, Sanggar Tari Swargaloka, Jaya Suprana School of Performing Art, dan para Sosialita Jakarta yang tergabung dalam Wayang Orang Indonesia Pusaka ini akhirnya sukses. Ida Suseno sang Sutradara telah mengkontruksikan sebagai teater modern yang mempresentasikan seni rupa, seni tari, seni musik, seni suara, dan akrobat, akhirnya tidak terlalu membutuhkan sarana pemahaman publik terhadap wayang terlebih dahulu.
Jaya Suprana, komandan pertunjukan menyebut pegelaran ini sebagai Mission Impossible " Semula saya menganggap pertunjukan ini sebagai sesuatu yang mustahil terwujud, bagaimana mungkin tontonan wayang orang yang di Indonesia identik dengan tontonan kelas bawah, bisa masuk ke pusat kebudayaan dunia, dan hari ini telah terbukti terwujudkan, saya ingin dunia berkonspirasi menyelamatkan wayang orang " tuturnya.
Ucapan Jaya Suprana dikuatkan oleh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar " Malam ini kita telah membuktikan kepada dunia betapa Indonesia bisa memberikan tontonan yang hebat, kita lihat tak seorangpun penonton meninggalkan gedung, tak seorangpun tidak memberikan aplaus, mereka semua melakukan standing ovation, orang Prancis tak akan melakukan hal itu kalau pertunjukan kita jelek "
Begitulah Pagelaran Banjarran Gatotkaca di Paris telah mampu menjawab misi yang mustahil menjadi keajaiban yang terwujud.  SUKSES !