Sunday, May 19, 2013

Setan Jengkiling ( Part 2 )


Untuk menjawab keberatan dari seorang kawan dengan akun "Solusi Kebebasan Finansial" pada cerita Setan Jengkiling yang dimuat di blog ini pada Agustus 2011, berikut ini saya copy paste cerita yang sama dari buku " Kesaksian Progo " Kisah Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1950, terbitan Pemda Tk II Kab. Temanggung, cetakan pertama 1996. Dan tulisan di Majalah Gema Bhumi Phala Edisi Khusus Nopember 2009. Sebenarnya Subtansi maupun Esensi dari cerita tersebut sama dengan yang saya tulis, hanya beda gaya penuturan saja, memang bukanlah sebuah karya intelektual kalau hanya copy paste seperti ini, namun demi kepuasan publik hal ini harus saya lakukan. Semoga semua berkenan, atau mungkin "Solusi Kebebasan Finansial" dapat menyumbangkan tulisan yang sama dengan versi anda, kami sangat berterima kasih.  " Memuaskan atau tidak itulah The Lost Ark ".


       Suatu hari di bulan Maret tahun 1950. Pukul 15.00 WIB, anak-anak TP mendengar berita dari mulut ke mulut bahwa sepasukan Belanda, tengah melakukan patroli. Jumlah anak buah Van Der Zee, diperkirakan dua regu terdiri dari 30 orang. Mereka bersenjata lengkap, sebagaimana biasa apabila melakukan patroli.
Pasukan itu, datang dari arah utara, dan dipastikan mereka baru saja berkeliling sekitar Kandangan, serta akan kembali ke Temanggung lewat Maron.
       Anak-anak TP segera mengkonfirmasikan berita itu di lapangan. Dan ternyata betul. Dari arah utara, debu musim kemarau beterbangan dihantam sepatu kaki-kaki yang kokoh. Pasukan itu berjalan terpisah, separoh lewat jalur kanan dan separoh lainnya lewat jalur kiri. Sebentar-sebentar, pasukan berhenti, terutama apabila harus melewati rerimbunan pepohonan. Pengalaman berhadapan dengan anak-anak TP telah membuat pasukan Belanda lebih waspada !
       Sutarto, saat itu juga segera membagi pasukan yang terdiri dari anak-anak sekolah yang menjadi anak buahnya. Ia mempercayakan penyergapan kepada Gunawan Muhadi. Gunawan secepatnya mengatur kawan-kawannya. Sebagian mengambil pos di bukit Cerukan. Sepertiga pasukan berposisi di tegal Jengkiling dan sepertiga lainnya bersiap-siap di persawahan Sikrasak. Seperti biasanya, Sutarto Cs bermaksud mencegat pasukan musuh dan menghajarnya secara mendadak.
       Untuk menghindari jatuhnya korban dari penduduk, Kapten Sutarto memerintahkan anak buahnya untuk mengungsikan warga setempat. Kampung Jengkiling harus kosong, karena diperkirakan pertempuran akan berlangsung cukup hebat. Meskipun pasukan Belanda hanya 30 orang, tetapi persenjataan yang digunakan anak-anak TP yang jumlahnya 47 orang itu ternyata kemampuannya tidak ada separohnya. Hal ini disadari benar oleh Sutarto, sehingga pengungsian penduduk mutlak harus dilakukan.
       Titik serbuan sudah ditentukan, yakni jembatan Jengkiling yang putus. Perhitungan anak-anak TP memang cukup logis meski agak ngawur dan nekad. Diperhitungkan untuk mencapai seberang selatan dari utara sungai, 30 orang itu harus turun ke dasar sungai yang cukup terjal. Saat menyelesaikan perjalanan hingga sampai naik tebing barat, pastilah membutuhkan konsentrasi khusus. Kelengahan pasukan Belanda sangat menentukan keberhasilan pencegatan ini.
       Kesempatan itulah yang dinanti-nantikan anak-anak TP. Watermantel, senjata andalan pasukan Sutarto, disiagakan di puncak bukit Cerukan. Moncongnya diarahkan ke tebing selatan jembatan, tepat di lokasi ujung jembatan. Setengah jam lebih anak-anak TP menunggu, Yacob Marsono, tak henti-hentinya mengusap keringat dengan lengan bajunya. Sukadar, saat itu masih sempat mengisap kreteknya, sementara Wuhyono yang berada di persawahan, jari telunjuk tangan kanannya tak pernah mau lepas dari picu senapan tuanya. Sementara Gunawan Muhadi matanya memandang lurus ke arah utara, dimana pasukan Belanda datang.
       Dari kejauhan, tampak sudah, sepasukan tentara berjalan beriringan. Itulah pasukan musuh yang ditunggu-tunggu. Aanak-anak TP mulai berdoa menurut agamanya masing-masing. Kegiatan ini seperti merupakan kewajiban manakala mereka akan berhadapan dengan musuh. Dalam sebuah pertempuran konvensional, menurut Sutarto, kehebatan teknik perang yang disertai doa tulus akan lebih dahsyat dibandingkan senjata. Dan anak-anak TP meyakini hal ini. Tak ada seorangpun yang tidak berdoa. Saat itu, hubungan mereka dengan Tuhannya sangat dekat. Dekat sekali.
       Detak jantung anak-anak mulai bekerja lebih cepat, ketika pasukan Belanda mulai menuruni tebing sungai sebelah utara. Dari sikapnya, dapat diketahui bahwa mereka sama sekali tidak menyangka bahwa maut tengah mengancamnya. Ada diantara pasukan itu yang turun ke sungai sambil terus mengisap cerutu coklatnya. Bahkan dua tiga orang lainnya, menyempatkan diri buang air kecil di sungai yang airnya memang tengah kering itu.
       Sebagian pasukan sudah mulai menyentuh tangga di tebing selatan dan siap untuk naik. Sedang sebagian lainnya masih berloncatan diantara bebatuan sungai. Ketika komandan pasukan Belanda tengah menginjakkan kakinya di tangga, tiba-tiba dari arah tegal Jengkiling terdengar bunyi letusan pistol. Itulah tanda serangan dimulai.
       Pasukan Belanda menjadi bengong setengah mati,. Mengapa tiba-tiba beberapa orang diantara kawan-kawannya roboh di dasar sungai. Mereka baru tersadar setelah rentetan watermantel memporak-porandakan batu dan batang-batang pohon pisang di sekitarnya. Tidak ada kesempatan sama sekali untuk membalas serangan itu. Pasukan Belanda sama sekali tidak tahu, siapa yang melakukan serangan tiba-tiba itu, dan di mana posisi para penembaknya.
       Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan diri dari neraka perang yang tidak pernah direnmcanakan itu, yakni, lari !. Maka sang komandanpun segera memerintahkan anak buahnya untuk segera meninggalkan sungai dan lari menuju bukit Kendil. Mereka berpencar, lari menghindarkan diri dari terjangan peluru anak-anak TP. Semuanya berkumpul di bukit Kendil. Di tempat yang strategis itulah pasukan Belanda mulai melancarkan serangan balasan secara ngawur.
       Peluru-peluru terus berhamburan dari moncong berbagai macam senjata otomatis. Setiap ada rerimbunan pepohonan, mereka gasak habis tanpa memperhitungkan breapa banyak peluru yang harus dimuntahkan. Pasukan Belanda, baru menghentikan tembakan setelah tidak tampak adanya perlawanan. Ternyata, anak-anak TP sudah lari meninggalkan desa Jengkiling ke arah barat dan timur. Anak-anak pelajar ini, hilang begitu saja seperti ditelan bumi.
       Belakangan diketahui jumlah korban yang meninggal dunia di pihak pasukan Belanda, mencapai tujuh orang. Mayat-mayat itu semuanya bergelimpangan di dasar sungai, persis di lokasi jembatan Jengkiling, Oleh kawan-kawannya, mayat-mayat itu dimasukkan dalam karung goni dan kemudian dibawa ke markas yang berada di kota Temanggung.
       Sedangkan dari pihak TP, tak seorangpun terluka akibat pencegatan itu. Malam harinya, mereka kembali ke Pos Jengkiling untuk menyantap jagung bakar dan mensyukuri kemenangan. Penduduk, menyambut anak-anak TP dengan suka cita.
       Peristiwa di jembatan kali Progo, kampung Jengkiling tersebut, sangat melekat di hati pelaku dan masyarakat sekitar. Satu pertempuran dengan senjata yang tidak imbang sama sekali, dapat diselesaikan dalam waktu singkat dan gemilang karena strategi yang hampir sempurna. Sejak saat itu, nama TP pun semakin berkibar. Peristiwa Jengkiling telah memunculkan cerita baru yang seringkali lebih dahsyat dari fakta yang ada.
       Kabar burung yang berkembang di masyarakatpun menjadi aneka macam. " Anak-anak TP bisa menghilang seperti setan " atau " Anak-anak TP seperti setan ", adalah ungkapan sehari-hari yang selalu muncul di pasar dan kampung-kampung. Peristiwa Jengkiling, telah menciptakan sebutan baru bagi pasukan Sutarto, yaitu " Setan Jengkiling".



Note:
Buku tersebut di atas ditulis berdasar beberapa Nara Sumber sebagaimana disebutkan didalamnya antara lain: Soetarto, Moeljono Sumpeno, Tjiptohardjo, Yacob Marsono, M. Sholeh, Kapten Pol. (Purn) Rahardijono, Letkol (Purn) Tjipto Gunawan, MH Soetopo, Soekirno SA, Lettu (Purn) Munjiat, Suwardikun, Madyo, Wuhyono, Sudargo, Sumardi, Gunawan Muhadi, Dimyati, Antony Madsahri, Diana, Letkol (Purn) Toelo Said Adiwidjojo, dan Bambang Poernomo.
Penulis juga salah satu putra Veteran pelaku sejarah perjuangan rakyat Temanggung pada masa itu.