Sunday, August 21, 2011

Setan Jengkiling

Jembatan Jengkiling



Maret 1950, pukul 15.00 anak-anak Tentara Pelajar ( TP ) dibawah Sutarto mendapat informasi penting, bahwa pasukan Belanda anak buah Van Der Zee diperkirakan 2 regu sekitar 30 orang  akan mengadakan patroli melewati route yang biasa mereka lalui, yaitu berkeliling Kandangan dan akan kembali ke Temanggung melewati Maron. 

Sutarto dan kawan-kawan segera merencanakan penyergapan, lokasi sudah ditentukan di Jembatan Jengkiling, alasan tempat penyergapan cukup masuk akal, di jembatan yang sudah diruntuhkan pejuang untuk menghambat pergerakan musuh itu patroli Belanda akan lengah, karena untuk mencapai tebing  selatan yang cukup terjal di ujung jembatan itu pasukan memerlukan konsentrasi tersendiri, rencana penyergapan sudah matang, perkampungan di desa Jengkiling di sebelah utara jembatan sudah dikosongkan untuk menghidari korban dari penduduk desa, kini para anak-anak TP tinggal menunggu Belanda itu datang. 

Sutarto telah membagi tugas kepada teman-temannya Gunawan Muhadi, Yacob Marsono, Sukandar, Wuhyono dan teman-teman lainnya, Gunawan Muhadi mengambil pos di bukit Cerukan, sepertiga berposisi di tegal Jengkiling dan sepertiganya lagi di persawahan Sikrasak, mereka akan membuat kejutan besar kepada patroli Belanda tersebut, modal anak-anak TP itu hanyalah senjata seadanya, keberanian dan do'a kepasrahan yang tulus kepada Tuhan, ternyata itulah modal yang sangat ampuh yang tidak dimiliki musuh.
Kira-kira setengah jam setelah dalam penantian yang menegangkan, tiba-tiba dari arah utara terlihat debu -debu di musim kemarau itu mengepul ke udara,  informasi yang diterima anak-anak TP 100% akurat, sepasukan Belanda separoh lewat sebelah kiri dan separohnya lagi di sebelah kanan berderap mendekati titik penyergapan, sungguh mereka tak menyangka bahwa maut telah menanti di tebing jembatan.
Pasukan Sutarto mengarahkan Watermantel senjata andalannya dari bukit Cerukan ke tebing jembatan, menunggu saat yang tepat untuk menyerang, keringat bercucuran saking tegangnya, do'a tak pernah lepas dari mulut, anak-anak TP itu menyaksikan pasukan Belanda itu menuruni tebing, beberapa dari tentara Belanda dengan angkuhnya berloncatan dari batu ke batu sambil mengisap cerutu, ada sebagian lagi menyempatkan diri buang air kecil.
Ketika pasukan Belanda itu memanjat tebing selatan, tiba terdengar bunyi letusan pistol, itulah tanda serangan dimulai, rentetan peluru Watermantel memporak-porandakan bebatuan dan pepohonan di tebing itu bersamaan  dengan jatuhnya beberapa tentara Belanda  ke dasar sungai yang sedang kering  oleh kemarau,  tanpa tahu dari mana arah tembakan datang.
Dan hanya satu jalan menyelamatkan dirii tanpa perlawanan, pasukan Belanda itu lari ke arah bukit Kendil tak jauh dari jembatan, di bukit yang cukup aman itu mereka melancarkan serangan balasan secara membabi buta, namun anak-anak TP telah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan, meninggalkan desa Jengkling menuju ke arah barat dan timur lalu berkumpul kembali di pos mereka di desa Pete dengan tidak kurang suatu apapun.
Sebuah serangan  sangat singkat dan dahsyat dari anak-anak muda pemberani yang cukup membawa korban di pihak Belanda, beberapa menit setelah itu beberapa kantong mayat dibawa pasukan Belanda menuju arah Temanggung, yang mengherankan bagi anak buah Van Der Zee itu adalah  mereka tidak melihat siapa penyerangnya, seperti setan saja, sehingga di kemudian hari anak-anak TP ini mendapat julukan " Setan Jengkiling "