Sebuah petilasan berada di ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut (dpl) dan berada di lereng Gunung Sindoro tempatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo. Jaraknya hanya sekitar 26 km dari barat laut kota Temanggung. berdekatan dengan petilasan tersebut terdapat sebuah mata air yang merupakan hulu Sungai Progo yang bernama Umbul Jumprit, sejak awal 1980 mulai banyak pengunjung yang ingin berziarah ke petilasan yang konon adalah makam Ki Jumprit atau melakukan ritual mandi kungkum di Umbul Jumprit.
Pada tanggal 18 Januari 1987, Pemerintah Kabupaten Temanggung menentapkan Jumprit sebagai Kawasan Wanawisata. Setahun kemudian, Kawasan itu diresmikan Gubernur Jawa Tengah (saat itu HM Ismail). Jumprit sudah disebutkan dalam Serat Centini, terutama dikaitkan dengan legenda Ki Jumprit yang merupakan ahli nujum di Kerajaan Majapahit sehingga dahulu masyarakat sekitar mengenalnya dengan Ki Jumpahit ( Nujum Mojopahit ) akhirnya lebih populer dengan sebutan Ki Jumprit.
Ki Jumprit dikenal sakti mandraguna ini ternyata salah seorang putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit.
Alkisah ia meninggalkan kerajaan, agar bisa mengamalkan ilmu dan kesaktiannya kepada masyarakat luas. Perjalanan panjangnya berakhir di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung. Sebagai ahli nujum, Ki Jumprit pernah meramal suatu saat nanti Temanggung akan menjadi daerah makmur dan sebagian ramalannya tersebut terbukti. Banyak petani di lereng Sumbing dan Sindoro relative hidup berkecukupan melalui tanaman tembakau.
Beberapa tokoh masyarakat meyakini, Ki Jumprit adalah leluhur dari masyarakat Temanggung yang tersebar di lereng Gunung Sindoro dan Sumbing. Namun hal ini masih memerlukan kajian mendalam, terutama dari aspek kesejarahan. Ada beberapa lokasi yang diyakini sebagai petilasan Ki Jumprit begitu juga letak makamnya yang berada tak jauh dari Umbul Jumprit. Dua lokasi inilah yang kerap dikunjungi peziarah, terutama komunitas tertentu yang terbiasa melakukan tirakat.
Beberapa tokoh masyarakat meyakini, Ki Jumprit adalah leluhur dari masyarakat Temanggung yang tersebar di lereng Gunung Sindoro dan Sumbing. Namun hal ini masih memerlukan kajian mendalam, terutama dari aspek kesejarahan. Ada beberapa lokasi yang diyakini sebagai petilasan Ki Jumprit begitu juga letak makamnya yang berada tak jauh dari Umbul Jumprit. Dua lokasi inilah yang kerap dikunjungi peziarah, terutama komunitas tertentu yang terbiasa melakukan tirakat.
Jalan menuju lokasi sudah teraspal, sehingga perjalanan cukup menyenangkan. Apalagi dalam perjalanan menuju Jumprit bisa menikmati panorama alam pegunungan yang indah dan agrowisata sayuran. di lokasi tersebut juga dapat menikmati udara segar dengan air yang jernih, dingin, dan menyegarkan dari Umbul Jumprit yang tiap hari Raya Waisak di jadikan tempat ritual pengambilan air suci oleh para Bikhu untuk dibawa ke Borobudur, indahnya pemandangan saat matahari terbit juga dapat kita nikmati di kawasan lereng Sindoro ini, kalau berkunjung ke sana sekawanan burung di alam bebas akan selalu menyambut dengan ocehan yang saling bersahutan atau juga bertemu sekawanan kera liar (sekitar 25-30 ekor) di lokasi. Konon populasi kera ini tidak pernah bertambah atau berkurang.