Thursday, September 22, 2011

Srintil Sang Primadona


" Sri kapan kowe mulih, kowe lungo ora bali-bali " sepenggal syair tembang campursari yang akrab di telinga orang jawa, lagu yang menggambarkan pengharapan kepada perempuan bernama Sri primadona desa, adat yang berlaku di desa kalau ada seseorang yang bernama Sri ketika masih kecil maka ia acapkali mendapat paraban atau panggilan akrab Srintil.

Kali ini saya tidak akan cerita mengenai seorang perempuan, tapi tentang Srintil  primadona yang didambakan para petani tembakau  di wilayah Temanggung, mendapatkan Srintil kata orang seperti kejatuhan ndaru, pulung, keberuntungan, hasil yang menakjubkan dari lembaran daun mengandung nekotin yang bernama tembakau.  
Srintil adalah fenomena alam yang mengubah daun tembakau membusuk dalam pemeraman sehingga menghasilkan aroma harum, manis seperti madu, wangi seperti buah salak yang matang, tembakau yang menjadi srintil berwarna hitam kebiruan menggumpal seperti aspal, lalu terurai menjadi serpihan kecil semrintil. lalu disebutnya srintil.

Fenomena srintil tidak akan dijumpai di tempat lain, karena hanya terdapat di lereng gunung Sindoro - Sumbing sisi utara, faktor geografis, ekosistem seperti suhu lingkungan dan nutrisi tanah setempat sangat banyak mengkontribusi proses sintesis srintil, lewat sebuah pemeraman frementasi terjadi dari biokonversi daun hijau menjadi kuning, coklat gelap dan menghitam, lalu berair  tapi tidak basah dan mengeluarkan aroma khas, frementasi yang melibatkan organisme pengurai seperti jamur, khamir dan bakteri yang berasosiasi menghasilkan enzim-enzim tertentu untuk mengkonversi material organik.
Aroma khas srintil yang begitu kuat, memberi sensasi kenikmatan yang luar biasa pada penikmat tembakau, srintil ibarat bumbu penyedap dalam sebatang rokok, 1 ons srintil cukup memberikan aroma pada 1 ton tembakau yang akan dijadikan rokok.
 
Tembakau Temanggung memang sudah diakui berkualitas nomor wahid, kalau tembakau dari lain tempat diibaratkan sebagai nasi, maka tembakau dari lereng Sindoro - Sumbing ini adalah lauknya, jadi hambar rasanya kalau makan nasi tanpa lauk, sensasi tak kan didapat dari sepiring nasi putih pulen sekalipun.
Sebagai gambaran saja pada tahun 2009 harga srintil dari Lamuk desa di lereng Sumbing mencapai Rp. 850.000 per Kg, bisnis tembakau memang menggiurkan,  di bulan September 2011 harga tembakau pada grade A sampai D berkisar Rp 80.000,- sampai Rp. 100.000,- per Kg, sedangkan grade F laku sekitar Rp. 165.000,- sampai dengan Rp. 200.000,- per Kg, padahal dua pabrik besar seperti PT Djarum Kudus telah menyerap 8.000 ton sedang PT Gudang Garam Kediri juga sama telah menyerap 8.000 ton.





Srintil adalah pulung bagi petani yang mendapatkan, karena si seksi emas hijau ini ibarat primadona desa yang akan segera kebanjiran pelamar dari pabrik - pabrik rokok terkemuka di Indonesia, sudah pasti sang petani pemilik anugrah srintil ini akan menunai panen emasnya dari lembaran daun yang sesungguhnya pahit rasanya dan tidak enak dimakan, harga yang fantastis seperti tidak sebanding saja dengan morfologinya yang hitam, busuk, basah agak lengket, tapi itulah lembaran rupiah yang tumbuh dari tanaman bernekotin yang bisa mensejahterakan masyarakat di lereng gunung kembar Sindoro dan Sumbing.


Bulan September ini Srintil sudah mulai muncul di lereng Sumbing, kalau sampai bulan Oktober ini cuacanya baik maka akan muncul Srintil yang berkualitas tinggi, itulah tembang pengharapan petani tembakau pada hadirnya kembali primadona desa bernama " Srintil "