Sekuntum asmara antara seorang Pangeran dan seorang Gadis dari desa Matah, berbingkai keindahan cinta yang agung namun bersinggungan dengan kematian, semboyan sang Pangeranpun sangat tersohor membuat miris dan menggetarkan jiwa " Mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh " atau dalam arti bebasnya " Mati satu mati semua, berjaya satu berjaya semua ".
Memang itu bukan saja semboyan sang Pangeran dalam memaknai cinta kepada sang kekasih, namun lebih pada cinta yang lebih tinggi derajatnya, yaitu cinta kepada tanah tumpah darahnya, dalam mengobarkan semangat melawan penjajahan Kompeni Belanda.
Kini lakon kisah cinta klasik antara Raden Mas Sa'id dengan gadis Rubiyah yang terbalut dalam kisah perjuangan melawan penjajah tersebut digarap secara kolosal, dalam pagelaran spektakuler di Taman Ismail Marzuki ( TIM ) pada 22 - 25 Juni 2012 ini, sebuah pagelaran Tari Jawa yang pernah mengguncang Teater Esplanade Singapura pada 2010.
Menurut rencana setelah sukses di TIM, pentas ini akan diboyong ke halaman Istana Mangkunegaran Solo pada 8 - 10 September tahun yang sama, dan akan dipertunjukkan pada Konferensi Federation For Asian Cultural Promotion ( FACP ) di Hotel Sunan Solo.
Sutradara Atilah Soeryadjaya yang memang dibesarkan dalam lingkungan Istana Mangkunegaran berhasil mengalirkan kisah menjadi indah dan penuh kemegahan, karena ia sangat paham betul bagaimana menghidupkan kebesaran masa lalu leluhurnya.
Kekuatan visual, gerak tari, kostum, tata cahaya dan tata panggung yang
menggunakan teknologi hidrolis sangat menghidupkan pementasan, membuat
Matah Ati tidak sekedar mempesona mata namun mampu menghadirkan
hypnothisme segenap hati penikmat pagelaran ini. Memang tak diragukan
lagi karena dalam menggarap seni berkelas ini tercatat beberapa
profesional yang digandeng, seperti Jay Subiakto sebagai penata
artistik, penataan video dan multimedia digarap Taba Sanchabakhtiar, dan
garapan koreografi oleh Daryono, Nuryanto dan Eko Supendi yang tak
perlu diragukan keahliannya. Bahkan Penari Senior Fajar Satriadi sang
asisten sutradara merangkap peran sebagai tokoh Raden Mas Sa'id
berpasangan dengan Rambat Yulianingsih sebagai Matah Ati. Kemegahan
pagelaran juga tak lepas dari kemegahan Kostum yang garap Atilah
sendiri.
Menyaksikan Matah Hati
mengingatkan pada pada pertunjukan visual La Galigo garapan Robert
Wilson yang pernah juga dipertunjukkan di Teater Tanah Airku, Taman Mini
Indonesia Indah pada 2006 silam, tapi sedikit nilai lebih dalam Matah
Hati, dimana Taba Sanchabakhtiar pada pagelaran ini mampu memberikan
unsur magis dan kekayaan kultur Jawa klasik yang indah.Cerita Matah Hati tentu saja berkisar
pada kisah asmara seorang Pangeran Raden Mas Sa'id dan seorang gadis ayu
dari desa Matah bernama Rubiyah, yang kesehariannya sebagaimana
layaknya gadis desa yang pandai mengaji, pintar menari, tapi juga sangat
pemberani di medan perang, disitulah titik episentrum diletakkan.
Sebuah
kisah cinta yang agung, di tengah bara api peperangan yang setiap saat
mengincar kematiannya, namun perjuangan 16 tahun itu menghasilkan buah
manis, setelah Raden Mas Said tak terkalahkan akhirnya Belanda
memaksakan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757, salah satu butirnya
menjadikan Raden Mas Said menjadi penguasa bergelar Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangkunegara, dan kemudian mempersunting Rubiyah yang
diberi gelar Bandoro Raden Ayu Kusuma Matah Ati, dari pasangan petarung
tangguh dalam percintaan maupun peperangan ini berdirilah Praja
Mangkunegaran, yang dicatat resmi sebagai keadipatian tinggi di wilayah
Jawa Tengah bagian timur yang bertahan hingga kini.