Teringat masa kecil di kampung, menemani seorang kawan selepas sekolah, mengembala kerbau di sawah yang habis di panen, sambil berteduh dibawah pohon mengamati segala gerak-gerik kerbau gembalaannya, kawan saya itu dengan mahirnya merakit sebuah alat musik sederhana, yaitu memakai payung keruduk ( semacam caping besar yang dibuat dari clumpring bambu ) lalu merentangkan suket ( rumput ) grinting yang diambil dari tepian pematang sawah. Dan jadilah sebuah alat musik petik dengan nada yang khas, setelah menyetem sebentar mengatur nada lalu dipetiklah alat itu sambil menyanyikan tembang macapat. Alangkah indahnya menikmati alunan melodi mengiringi tembang seiring semilirnya angin nan sejuk, membuat saya terkantuk-kantuk tiduran di akar pohon yang rindang. Herannya darimana dia mendapat ilmu merakit alat musik itu, ternyata ketrampilan itu diwariskan dari orang tuanya, turun-temurun dari kakek buyut sampai cicitnya. Belakangan baru saya tahu alat musik itu bernama Cengklungan.
Cengklungan ternyata sekarang menjadi warisan seni budaya yang hampir punah, terbukti ketika saya bernostalgia menyusuri tempat-tempat orang menggembala ternak dahulu, sekarang tak pernah lagi ditemui hal itu. Bahkan sawah tempat saya menemani kawanku itu sekarang telah berubah menjadi permukiman, sayang sekali tempat indah penuh kenangan itu kini telah hilang, yang terlihat hanyalah bangunan-bangunan tanpa konsep tata ruang yang baik, dengan hiruk pikuk anak-anak kecil bermain game dari barang-barang import, bukan lagi mainan tradisional buatan sendiri.
Asal mula kesenian Cengklungan memang berasal dari
para penggembala yang sedang menunggu ternaknya, berawal dari payung keruduk dan suket grinting yang dikaitkan di ujung-ujungnya, ternyata
bila dipetik dengan pintar menimbulkan bunyi-bunyi yang harmonis untuk mengiringi mereka bersenandung.
Dalam pertunjukan seni budaya kini Cengklungan sudah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi tontonan yang menarik, musik Cengklungan sudah diaransir dengan baik mengiringi gending-gending Jawa maupun Tembang Campursari, dan ditambah adanya tarian yang menggambarkan kehidupan para petani. Koreografinya terinspirasi dari gerakan orang yang sedang mencangkul, menanam padi,
menyiangi padi, menghalau burung, menuai sampai dengan menumbuk padi.
Cengklungan
ini dibandingkan dengan kesenian-kesenian Jawa lain yang memang memiliki
ciri yang hampir sama yaitu adanya sinden dan alat musik. Yang istimewa dari
kesenian Cengklungan ini adalah alat musiknya, karena alat musik dari kesenian ini terdiri dari 4 payung keruduk dari clumpring bambu beserta dawainya dari suket grinting,
keempat payung keruduk ini mempunyai peran masing-masing, ada yang berfungsi sebagai Bass, Kendang Kethuk,
Kenong, dan Siter, selain itu ditambahkan pula suling sebagai melodi. Syair-syair tembang yang dilantunkan berisi ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan atas hasil pertanian
yang melimpah.
Dahulu tak pernah terpikir, ternyata kenangan yang saya nikmati masa kecil itu adalah sebuah warisan seni budaya adiluhung milik bangsa ini. Saya sangat memberikan apresiasi besar kepada para mahasiswa Temanggung yang kuliah di ITB, ITT Telkom, dan STAN yang memperkenalkan Kesenian Cengklungan ini sebagai Kesenian Khas Temanggung, di Bandung beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 20 Mei 2012 saat presentasi Guru Damang (Guyup Rukun Kadang Temanggungan) dalam pembahasan pendirian politeknik pertanian di Temanggung di hadapan Bupati Temanggung Drs Hasyim Afandi dan masyarakat Temanggung (Kadang Temanggungan) yang ada di Jabodetabek, sebuah inisiatif anak-anak muda harapan bangsa yang patut diacungi jempol.
Sekarang langkah kita selanjutnya, baiknya segera kita patenkan Cengklungan ini sebelum diklaim sebagai kesenian milik bangsa lain.