“ INILAH NEGERI TEMBAKAU “ kata Mbah Merto menyambut
saya begitu turun dari kendaraan yang mengangkut saya ke desa di lereng gunung
Sindoro, ketika saya mengunjungi Desa Bansari yang tengah panen raya tembakau, lalu ia mengajak
masuk ke rumahnya dan menyilakan saya duduk di amben ( balai-balai ), sebuah slepen
( tempat tembakau dari anyaman rumput mendong ) dikeluarkan dari saku celananya,
isinya tembakau, kertas sigaret cap Topeng, cengkeh rajangan cap Ndorit, dan
korek api.
“ Ses Mas “ tawaran akrab Mbah Merto mengajak
bareng-bareng merokok Ting-We ( nglinting-dewe = melinting sendiri )
“ Terima kasih, ini saja Mbah lebih enak “
teman saya balas menawari rokok buatan pabrik kepadanya
“ Terlalu ringan Mas, saya nggak marem kalau
nggak nglinting sendiri “
Rokok Ting-We bagi Mbah Merto ( 87 th ) sudah
menjadi menu wajib sehari-hari, begitu luang segera ia mengeluarkan isi slepennya, bahkan sambil melakukan aktifitas rokok lintinganpun tak pernah lepas dari
bibirnya, usianya memang sudah senja, namun kesehatannya masih baik
dibandingkan dengan orang kota seusianya yang dimanjakan oleh makanan yang
lebih bergizi.
Meskipun sudah tua, Mbah Merto masih kuat mengelola ladangnya
yang berada di Deles, yaitu ladang yang berada di bawah hutan puncak gunung
Sindoro, bayangkan saja untuk sampai di Deles ia berangkat jam 04.00 pagi,
berjalan kaki sambil memikul pupuk kandang sampai di lokasi jam 07.00
Ketika saya mencoba naik ke Deles mengikuti
route Mbah Merto, mandi keringat bukan main lelahnya, harus ngaso empat kali
dengan nafas yang ngos-ngosan tak karuan, padahal saya bukan perokok
seperti Mbah Marto.
Yang membuat saya bertanya-tanya, bagaimana
mungkin seorang perokok berat semacam Mbah Merto sampai di usia 87 kesehatannya
masih prima, masih kuat mencangkul, memikul beban, tidak seperti yang
digambarkan orang tentang seorang perokok berat
dengan paru-paru bengek.
Bukannya saya ingin menepis pendapat ahli tentang bahaya rokok, saya setuju
dengan hal itu, karena semua berdasarkan hasil
penelitian ilmiah.