Saturday, May 26, 2012

Tradisi Sadranan di Temanggung



Kokok ayam mengawali pagi seiring terbitnya matahari, di pagi yang dingin itu, warga desa Ngropoh telah berduyun-duyun membawa tenong dan bucu, menuju sebuah bukit kecil di pinggiran desa yang terdapat sebuah komplek pemakaman. Sudah menjadi tradisi turun-temurun yang lama berlangsung puluhan tahun, setiap setiap hari Jum'at Wage di bulan Rajab, warga setempat menggelar ritual sadranan.





Ditempat pemakaman itu para warga duduk berjajar dengan hidmat, mengikuti seluruh prosesi yang dilaksanakan. Ritual ditandai dengan pembacaan tahlil yang dipimpin oleh seorang Modin atau Pemuka Agama setempat yang ditutup dengan pembacaan do'a memohonkan ampun kepada Allah atas dosa-dosa para leluhur dan memohon berkah kepada Allah agar diberikan kelimpahan rejeki dan keselamatan bagi semua warga desa, setelah pembacaan do'a selesai dilanjutkan makan bersama bekal yang dibawa masing-masing warga dalam tenong, yang berupa nasi bucu, ingkung ayam, aneka lauk, jajanan dan buah-buahan. Uniknya dalam pembuatan makanan ini tidak boleh dicicipi, jadi enak dan tidaknya dalam membuat memasak hanya berdasarkan kira-kira dan naluri saja.

Selain dinikmati sendiri, makanan tersebut juga dibagi-bagikan kepada warga lain dusun yang mengikuti sadranan disitu.  Kepala Desa Ngropoh Sunarwoto mengatakan bahwa, memang sadranan di desanya tidak hanya diikuti warga dusun setempat saja, namun juga dari dusun lain yang mempunyai leluhur di desa Ngropoh.
Sesepuh desa Kyai Nuryanto menambahkan bahwa, tradisi sadranan ini diselenggarakan sebagai ungkapan syukur kepada Allah, atas berkah rejeki dan keselamatan yang diberikan kepada masyarakat desa selama ini, sehingga semua warga desa bisa hidup tentram dan sejahtera, hasil panen yang melimpah serta terhindar dari segala macam halangan dan musibah. Memang makanan yang dibawa adalah hasil bumi, ternak dan kebun mereka selama setahun, jadi sudah selayaknya para warga desa menyatakan rasa syukurnya kepada Allah dengan cara berbagi sedekah semacam itu, demikian Kyai Nuryanto menambahkan.



Tradisi sadranan yang sebelumnya telah diawali dengan bersih-bersih makam sebagai penghormatan kepada para leluhur yang telah wafat itu, juga untuk melestarikan budaya warisan budaya yang adiluhung dari nenek moyang, disamping itu berkumpulnya semua warga desa dapat mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan antar warga, untuk kepentingan itu bahkan warga desa yang berada di luar kota menyempatkan diri pulang ke tanah kelahirannya, karena sadranan hanya setahun sekali diadakan, sembari melepaskan rindu kepada sanak saudaranya.
Harapan para tokoh masyarakat setempat agar tradisi sadranan ini dapat berkelanjutan di masa-masa mendatang, sebagai warisan budaya dari orang tua yang telah mendahului, melalui penyelenggaraan ritual sadranan ini masyarakat terbukti semakin guyub-rukun, semangat gotong-royong dalam bekerja juga semakin baik, dengan demikian Insyaallah Desa Ngropoh akan gemah ripah loh jinawi.
Itulah sekelumit gambaran tentang tradisi sadranan yang tidak hanya dilaksanakan di desa Ngropoh saja, namun juga dilakukan hampir seluruh desa-desa di wilayah Temanggung.