Monday, February 4, 2013

Awas Bom Waktu Sampah Bisa Meledak


Pertumbuhan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Pengelolaan sampah selama ini di kabupaten/ kota banyak yang belum sesuai dengan methode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan.
Pemandangan yang sering kita lihat di media massa terkait problematika sampah sangat jelas, contoh  longsornya TPA Leuwigajah, Bencana Darurat Sampah Kota Bandung, Langganan Banjir di beberapa wilayah Jakarta, adalah sebagian contoh lokal tentang bencana akibat sampah.
Sehingga kalau terakumulasi tingkat Nasional bukan tidak mungkin sampah akan menjadi Bom Waktu yang akan meledak menjadi bencana nasional, maka perlu dilakukan langkah pengelolaan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberi manfaat dan aman bagi lingkungan, serta merubah perilaku masyarakat. Karena Perilaku masyarakat yang masih berpikir dengan paragdigma lama, yaitu memperlakukan sampah cuma sebagai barang buangan tanpa melakukan upaya 3R ( Reduce, Reuse dan Recycle ) berpotensi menciptakan bom waktu seperti darurat sampah di Bandung.
Tingginya anggaran untuk biaya pembuangan sampah dari sumber  serta operasional di Tempat Pemrosesan Akhir ( TPA ) juga suatu masalah yang dari tahun ke tahun tidak semakin berkurang, kalau pembuangan sampah masih saja mengandalkan pada TPA, dan bisa saja kejadian macam Leuwigajah akan terus berulang. 



Pemerintah dalam hal ini di tingkat Kabupaten/ Kota harus sudah mengimplementasikan kebijakan yang berdasar pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang menyiratkan harus ada penerapan pengelolaan yang bijak di tingkat hulu, melalui  kegiatan 3R pada timbulan sampah mulai dari pemilahan yang berlanjut pada pengurangan ( reduce ), penggunaan kembali ( reuse ) dan daur ulang ( recycle ).
Kita perlu berganti cara pandang bahwa kini sampah adalah semberdaya yang bisa diolah menjadi bernilai ekonomis, sampah organik sebagai bahan baku kompos, sedang yang anorganik bisa menghasilkan aneka produk melalui daur ulang ( material recovery ), bahkan dapat menjadi sumber energi ( energy recovery ) di tempat pemrosesan akhir ( TPA ).
Pengurangan sampah di tingkat hulu ( timbulan sampah ) dengan cara 3R adalah langkah tepat yang harus ditempuh di setiap kabupaten/ kota, karena selain masyarakat dapat memperoleh pengasilan tambahan melalui produk daur ulang, keuntungan lain pemerintah juga tidak akan terbebani dengan biaya operasional tinggi dalam mengelola sampah, serta dengan berkurangnya volume sampah dapat memperpanjang umur TPA. Walhasil dari pada biaya begitu besar cuma buat ngurusi sampah mending untuk membangun prasarana lain yang lebih dibutuhkan atau untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Solusi lain dengan pengembangan Bank Sampah di kawasan-kawasan permukiman adalah pilihan bijak untuk mengurangi sampah di tingkat timbulan, di beberapa daerah telah banyak yang sukses, contoh yang telah berkembang baik adalah di Sidorukun Surabaya, Bandegan Bantul Yogyakarata, atau di Temanggung kini tengah berkembang, dan sudah banyak contoh lainnya.
Bank Sampah adalah jenis kegiatan usaha social enterprise, selain memiliki nilai ekologis sekaligus dapat menghasilkan profit. Mengelola Bank Sampah mempunyai misi sosial, yang utama sebenarnya adalah mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA, lewat kegiatan pengumpulan sampah di Bank yang dibentuk kelompok masyarakat, oleh pengelola Bank Sampah limbah yang disetor para warga tersebut dapat diolah menjadi barang yang bernilai ekonomi lewat 3R, atau cara yang paling mudah adalah dijual kembali ke pengepul barang bekas, dengan demikian sampah akan berubah menjadi uang.
Mekanisme menabung di Bank Sampah sangat sederhana, seperti layaknya orang menabung di bank, para warga membawa barang yang bisa di daur ulang ke Bank Sampah, lalu petugas akan memasukkan hasilnya ke dalam buku tabungan warga, sesuai yang disetorkan, dapat berapa Kg barang dan berapa nilai rupiahnya tercatat di buku tabungan, suatu saat warga membutuhkan dapat dicairkan berupa uang.
Sangat sederhana dan mudah dilakukan, hanya butuh sosialisasi yang tepat untuk merubah pola pikir masyarakat, yang semula menganggap sampah barang buangan, sekarang harus dimanfaatkan menjadi barang yang menghasilkan uang. Kapan lagi peluang bagus ini akan diraih, jangan menunggu timbunan sampah meledak seperti BOM !