Sebuah Artikel dari Rohman Kusriyono, aktivis di Surat Kabar Mahasiswa ( SKM ) Amanat IAIN Walisongo Semarang, cukup menarik untuk kami share kepada anda, mungkin bermanfaat.
Kekeliruan cara pandang manusia mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek ) terhadap alam menimbulkan krisis lingkungan hidup.
Fenomena bencana banjir, seperti yang terjadi di Ibukota Jakarta dan berbagai daerah lainnya menegaskan kembali bahwa krisis lingkungan masih terus berlanjut. Banjir ataupun fenomena lain, seperti pencemaran air, tanah, udara, laut serta kerusakan alam lainnya kemungkinan disebabkan oleh dua faktor; proses alam atau ulah manusia.
Dilihat secara global, krisis lingkungan lebih banyak disebabkan dari sikap serta perilaku manusia itu sendiri yang serakah dan tak pernah puas.
Gejala perusakan bumi oleh keserakahan manusia sejatinya sudah dikhawatirkan oleh John Ormsbee Simonds semanjak lebih dari tiga dekade silam. Dalam bukunya " Earthscape " ( 1978 ), Simonds menggaungkan istilah " Bunuh Diri Ekologis " ( Ecological Suicide ). Menurutnya, planet bumi ini cukup bagi mahluk hidup, tapi tak cukup bagi seorang mahluk berpredikat manusia yang serakah.
Mereka yang serakah dan tak peduli pada lingkungan itu bukanlah orang yang tak mengerti teknologi dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, mereka menguasai iptek dan menganggap wajar jika menggunakannya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan manusia. Sayangnya kepentingan itu sekedar didasarkan fungsi ekonomis, tanpa mempertimbangkan dampak yang diakibatkannya.
Hal itu tampak jelas dari kenyataan yang terjadi. Pantai diurug untuk pembangunan hotel, bukit-bukit dikepras ditanami gedung-gedung mewah, pohon-pohon ditebang untuk permukiman dan kota baru. Isi laut dikuras, hutan dijarah, bumi dikeruk. Dan yang melakukan semua itu adalah mereka yang mendapat amanah untuk membangun negeri ini dan sudah tentu notabene pernah mengenyam pendidikan.
Paradigma yang Keliru
Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Paradigma seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tak punya nilai pada dirinya sendiri.
Teknologi dan ilmu pengetahuan direduksi manjadi sekedar mempunyai fungsi ekonomis belaka untuk diperdagangkan, sehingga itu harus diatur dan dikendalikan perdagangannya. Maka yang terjadi adalah kealpaan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai fungsi sosisal, budaya, dan moral dalam rangka humanisasi manusia.
Paradigma yang Keliru
Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Paradigma seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tak punya nilai pada dirinya sendiri.
Teknologi dan ilmu pengetahuan direduksi manjadi sekedar mempunyai fungsi ekonomis belaka untuk diperdagangkan, sehingga itu harus diatur dan dikendalikan perdagangannya. Maka yang terjadi adalah kealpaan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai fungsi sosisal, budaya, dan moral dalam rangka humanisasi manusia.
Padahal, ilmu pengetahuan mengandung tanggung jawab dan kewajiban moral untuk menolong sesama manusia di seluruh dunia tanpa pamrih serta tanpa kalkulasi untung-rugi secara ekonomis. Fungsi ini hilang sama sekali dan yang tinggal hanya fungsi ekonomis yang individualis dan eksploitatif.
Dampak ideologi semacam ini, menurut Wolfgang Sach, masyarakat dan rakyat di negara-negara berpacu menyusuri jalan yang sama. Konsekuensinya, semua aspek kehidupan yang lain ditempatkan dibawah imperatif ekonomi. Segala institusi sosial, termasuk pendidikan dan kebudayaan, dirancang hanya untuk menjawab dan meladeni kepentingan ekonomi. Dengan demikian, bisa ditebak bahwa aspek-aspek lain, termasuk sosisal-budaya dan lingkungan hidup, dikorbankan demi kepentingan imperatif ekonomi ( A.Sony Keraf, 2010 )
Dengan kenyataan seperti itu, untuk mengatasinya bisa dilakukan dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Dibutuhkan sebuah pola hidup atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru terhadap alam semesta.
Peran Kampus
Untuk mewujudkan adanya etika lingkungan hidup, langkah strategis yang bisa digunakan adalah dengan menjadikan lembaga lembaga pendidikan tinggi atau kampus sebagai penanaman nilai-nilai etika itu. Sebagai sumber ilmu, kampus menempati posisi kunci, terutama dalam mengungkap, menggali, dan menyebarluaskan teori dan ilmu tentang pengelolaan planet bumi ini dengan landasan pembangunan berkelanjutan ( Sustainable Development ).
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan seluruh civitas academica kampus agar etika lingkungan hidup itu benar-benar terwujudkan.
Pertama, menerapkan aturan prosedur dan mekanisme yang jelas dengan prinsip intensif dan disentif, penghargaan dan sanksi, dan sistem meritokrasi dalam pengelolaan lingkungan.
Kedua, memotivasi segenap pihak agar lebih ramah lingkungan dalam setiap kegiatannya, hemat energi dan kian efisien dalam pemanfaatan sumbernya.
Ketiga, mendirikan dan mengambangkan pusat-pusat studi, penelitian dan kursus-kursus tentang lingkungan bagi kalangan, baik di luar maupun di dalam kampus itu sendiri.
Terakhir, membuat rencana program dan pelaksanaan kegiatan pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan di kampus maupun di luar kampus.
Melalui langkah-langkah tersebut, perguruan tinggi akan amat strategis dan menonjol sebagai garda depan pelestarian lingkungan dan pengemban kaidah pembangunan berkelanjutan dalam aksi nyata.
Dampak ideologi semacam ini, menurut Wolfgang Sach, masyarakat dan rakyat di negara-negara berpacu menyusuri jalan yang sama. Konsekuensinya, semua aspek kehidupan yang lain ditempatkan dibawah imperatif ekonomi. Segala institusi sosial, termasuk pendidikan dan kebudayaan, dirancang hanya untuk menjawab dan meladeni kepentingan ekonomi. Dengan demikian, bisa ditebak bahwa aspek-aspek lain, termasuk sosisal-budaya dan lingkungan hidup, dikorbankan demi kepentingan imperatif ekonomi ( A.Sony Keraf, 2010 )
Dengan kenyataan seperti itu, untuk mengatasinya bisa dilakukan dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Dibutuhkan sebuah pola hidup atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru terhadap alam semesta.
Peran Kampus
Untuk mewujudkan adanya etika lingkungan hidup, langkah strategis yang bisa digunakan adalah dengan menjadikan lembaga lembaga pendidikan tinggi atau kampus sebagai penanaman nilai-nilai etika itu. Sebagai sumber ilmu, kampus menempati posisi kunci, terutama dalam mengungkap, menggali, dan menyebarluaskan teori dan ilmu tentang pengelolaan planet bumi ini dengan landasan pembangunan berkelanjutan ( Sustainable Development ).
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan seluruh civitas academica kampus agar etika lingkungan hidup itu benar-benar terwujudkan.
Pertama, menerapkan aturan prosedur dan mekanisme yang jelas dengan prinsip intensif dan disentif, penghargaan dan sanksi, dan sistem meritokrasi dalam pengelolaan lingkungan.
Kedua, memotivasi segenap pihak agar lebih ramah lingkungan dalam setiap kegiatannya, hemat energi dan kian efisien dalam pemanfaatan sumbernya.
Ketiga, mendirikan dan mengambangkan pusat-pusat studi, penelitian dan kursus-kursus tentang lingkungan bagi kalangan, baik di luar maupun di dalam kampus itu sendiri.
Terakhir, membuat rencana program dan pelaksanaan kegiatan pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan di kampus maupun di luar kampus.
Melalui langkah-langkah tersebut, perguruan tinggi akan amat strategis dan menonjol sebagai garda depan pelestarian lingkungan dan pengemban kaidah pembangunan berkelanjutan dalam aksi nyata.
( Rohman Kusriyono, Suara Merdeka, Sabtu 16 Februari 2013 )