Tuesday, February 5, 2013

Kaki Lima dan Problema Kota



Di manapun tempatnya pedagang kaki lima ( PKL ) selalu membuat pusing Pemerintah Kota/ Kabupaten, masalahnya para PKL tersebut lebih senang mencegat konsumen dengan menempati jalur-jalur pedestrian kota, sehingga sangat mengganggu kebersihan, keindahan dan ketertiban kota. Pedestrian yang semestinya diperuntukkan pejalan kaki banyak yang tertutup lapak dagangan, sehingga hak-hak pejalan kaki dengan segala kenyamanan dan keamanannya terlanggar.
Padahal PKL ini adalah sebuah cerminan betapa pemerintah gagal menciptakan lapangan kerja, usaha di kaki lima sebagai bentuk wira usaha warga masyarakat ekonomi lemah dalam mempertahankan hidup, di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan, sudah untung mereka bisa usaha mandiri tidak membebani pemerintah.



Lebih bijaksana  apabila pemerintah kota/ kabupaten seharusnya memfasilitasi, dengan menyediakan areal berjualan yang tertib dan rapi, langkah-langkah penggusuran hanya akan menimbulkan konflik antara rakyat dan penguasa. Penataan PKL ala Jokowi saat menjabat Walikota Solo patut dijadikan model penertiban tanpa kekerasan. PKL, perlu berkali-kali diajak dialog, diskusi hingga akhirnya terjadi kesepakatan relokasi, sehingga para PKL dengan suka rela berpindah sesuai keinginannya ke tempat yang lebih representatif, fasilitasi pemerintah. 
Memang tidak semua PKL mudah diajak bicara, maklum beberapa diantara mereka agak kurang  mengenyam pendidikan, susah diajak tukar pikiran. Kemauan mereka adalah berdagang pada lokasi yang mudah diakses pembeli, jadi pilihan menempati pedestrian adalah pikiran akhir mereka, tidak peduli kalau aktifitas mereka melanggar hak-hak orang lain.  Kekhawatiran mereka untuk diajak masuk ke lokasi yang disediakan seperti pasar dan sebagainya adalah harus membeli lapak, kena retribusi, kena pungutan macam-macam dan belum tentu di tempat baru akan dihampiri pembeli. Kalau mindsetnya sudah begitu dialogpun menemui jalan buntu tanpa titik temu, padahal keberadaan PKL liar yang tak tertata seperti itu sangat mengganggu, khususnya bagi kota-kota yang tengah mengikuti lomba Adipura akan mengurangi penilaian.

Lain halnya yang terjadi di kota Temanggung, sebuah contoh saja para PKL yang berada di Jl S. Parman depan Pasar Kliwon Rejo Amertani adalah pedagang yang telah memiliki lapak dan los di dalam pasar, karena menurut mereka berada di dalam pasar kurang laku, lalu tumpah keluar pasar dan membuka lapak di pinggiran jalan, sehingga sangat mengganggu lalu-lintas di jalan tersebut, pada jam sibuk di ruas jalan itu kemacetan sudah menjadi hal biasa. Usaha persuasif Satpol PP untuk menghimbau PKL kembali ke dalam Pasar sudah tidak kurang-kurang, termasuk memberikan alternatif lokasi baru.
Setelah melalui mediasi dan dialog yang alot tanggal 15 Juni 2012, 18 Juli 2012 dan 13 September 2012, akhirnya terbitlah kesepakatan bersama antara Pemkab.dan para PKL, nota kesepakatanpun ditanda tangani bersama 10 November 2012, pihak Pemkab.diwakili Deperindagkop dan UMKM sedangkan PKL diwakili 112 orang PKL yang tergabung dalam Kelompok PKL " Harapan Jaya " dan " Gawe Rejeh ". Isi kesepakatan diantaranya adalah: PKL sepakat menempati lokasi yang telah disediakan di Jl Kol. Sugiyono dan Plaza Temanggung Permai.
Mengatur PKL memang bukan hal yang mudah, sudah ada kesepakatanpun baru terrealisir 3 bulan kemudian, itupun sempat terjadi insiden tidak mengenakkan semua pihak, untunglah tidak berlanjut aksi anarkhis. Kini Satpol PP sebagai penegak peraturan sedikit bernafas lega, dua bulan berjalan mulai tertib, ee...kini mulai timbul lagi PKL-PKL baru di tempat semula, bagaimana nggak PUSING !