Rabu 7 Nopember 2012, hari masih pagi di lereng Gunung Sindoro ditandai kokok ayam bersaut-sautan seiring terbitnya matahari. Ada kesibukan luar biasa di rumah kakek Sukarto Pangat (87 th) dan nenek Misiyah (82 th), Dusun Limbangan Desa Balesari Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung, memang hari sangat istimewa bagi kakek nenek yang menikah tahun 1948 itu, dari 65 tahun usia perkawinannya lahir 8 anak, 21 cucu dan 13 buyut, dan hampir semua anak, cucu dan buyut berkumpul semua, hanya 5 cucu yang tidak berada karena masih kuliah dan mengikuti ujian, kalau dihitung jumlah anggota kelauarga besarnya berikut para menantu 53 jiwa.
Kegembiraan keluarga besar kakek Sukarto dan nenek Misiyah terlihat ketika mereka bersama-sama sarapan pagi, yang telah disiapkan anak cucu sejak pukul 03.00, maklumlah untuk keluarga sebanyak itu butuh waktu tersendiri dalam menyiapkan makan besar.
Selesai sarapan bersama kakek Sukarto dan nenek Misiyahpun menggiring anak, cucu dan buyutnya, menuju Pasar legi Parakan, sejumlah 12 mobil telah disiapkan berikut pengawalan oleh Polisi. Itulah prosesi awal tradisi angon putu yang akan dilaksanakan kakek nenek Dusun Limbangan ini.
Iring-iringan mobilpun sampai di Pasar Legi Parakan, sempat membuat keheranan warga masyarakat Parakan yang melihatnya, saat rombongan keluarga besar itu turun dari mobil. Mengingat banyaknya anggota keluarga tak memungkinkan untuk semuanya masuk ke pasar, maka hanya beberapa perwakilan keluarga saja yang masuk berbelanja jajan pasar untuk bekal perjalanan ke Temanggung, tidak lupa untuk sarana ritual angon putu ini mereka membeli uborampe Kembang Boreh, yang terdiri dari bunga mawar, bunga melati, bunga kanthil, bunga kenanga dan boreh yang berupa adonan kapur dan kunyit.
Perjalananpun berlanjut ke Temanggung, tujuannya ke alun-alun. Maka sesampai di tempat tujuan rombongan keluarga besar kakek menghambur menuju taman kota itu, sementara kakek Sukarto dan nenek Misiyah berjalan paling belakang sambil membawa pecut, sebagai mana layaknya orang angon ( mengembala ), pecut atau cambuk yang dibawa bukannya untuk memecut anak-cucu, melainkan hanya simbol angon saja.
Begitu masuk di alun-alunpun mereka berkumpul sebentar di bawah pohon beringin, untuk melakukan ritual angon putu. Satu persatu para anak-cucu menghadap, kakek Sukarto lalu menorehkan boreh di kening masing-masing, baik anak, cucu dan buyut.
Setelah ritual borehan, anak, cucu dan buyut dilepas untuk bermain dan membeli jajanan apa saja yang ada di alun-alun itu.
Tradisi angon putu inipun disambut dengan suka-cita oleh para pedagang makanan yang berada di alun-alun, sebuah kesempatan yang tak diduga sebelumnya, tiba-tiba saja siang itu para pedagang kebanjiran pembeli. Tak terkecuali para penjual jasa penyewaan mainan seperti mobil-mobilan, becak mini, kertera mini, tempat mandi bola an arena bermain lainnya sampai kewalahan melayani cucu dan buyut kakek Sukarto.
Sementara sang kakek cukup puas duduk-duduk di bangku taman sambil mengisap rokok kreteknya, sementara sang nenek tampak bahagia sekali, tersenyum memandang semua anak-cucu bergembira menikmati rekreasi rame-rame itu.
Filosofi yang terkandung dalam tradisi angon putu ini adalah, silaturahmi antar anggota keluarga untuk membina kerukunan, kebersamaan. Serta sebagai ungkapan syukur orang tua telah diberi umur panjang, kesehatan dan rejeki yang melimpah. Angon putu memang tradisi turun temurun dari nenek moyang, dimana seseorang yang telah mencapai usia perkawinan lebih dari 50 tahun, telah memiliki anak, cucu, buyut bahkan sampai canggah, apabila telah diberi kelebihan rejeki maka haruslah melakukan tradisi angon putu ini.
Di akhir ritual angon putu ini, kakek Sukarto dan nenek Misiyah akan menggelar pertunjukan Wayang Kulit selama dua malam, dengan dalang Ki Sabar Hadicarito dari Wonosari Jogja, demikian dituturkan oleh Suripto (62 th ) anak sulung Kakek Sukarto.